Rabu, 27 Februari 2013

Peringatan Tahun Baru Merusak Sendi Minangkabau

Menjelang tahun baru masehi 2013, seperti kejadian tahun-tahun baru masehi sebelumnya banyak masyarakat, terutama anak muda-mudi melakuakan acara penyambutan tahun baru masehi dengan hura-hura dan berpesta pora secara berlebihan. Apa bila dilihat acara tahun baru masehi ini sangat meriah.
Pada malam tahun baru masehi tersebut akan disaksikan anak muda-mudi berkumpul-kumpul, becampur baur antara laki dengan perempuan tanpa ada batas yang memisahkan. Mereka melakukan apa saja yang pada dasarnya sudah melanggar norma-norma adat dan agama di minangkabau.
Banyak saja yang mereka lakukan, seperti minum-minuman beralkohol sampai mabuk, atau menghisap ganja, sabu-sabu dan lain-lainya, semua itu nantinya bisa ditemukan di tempat wisata, seperti ditepi danau, ditepi laut, ditepi sungai dan ditempat rekreasi lainya.
Kehidupan di tahun baru Masehi tersebut biasanya juga dilengkapi dengan kelompok masyarakat mengadakan acara hiburan semalam suntuk (orgen tunggal, basaluang dangdut, dll) dengan mendatangkan biduan atau artis lokal dan nasional yang pakainya membuat kita langsung istighfar. maaf, setengah telanjang. Acara hiburan (orgen tunggal, basaluang dangdut, dll) ini bisa tersebar di seluruh nagari wilayah minangkabau.
Itulah sekelumit fenomena yang terjadi ketika tahun baru masehi masuk, sehingga selaku masyarkat Minangkabau yang beradab, di saat masuknya tahun baru Masehi ini sangatlah mengkawatir. Apa yang terjadi saat itu sudah tidak lagi mencerminkan masyakat yang berbudaya dan beragama, atau tidak lagi menjunjung nilai-nilai “adat basandi syarak-syarak basandi kita bulah”.
Selaku masyarakat Minangkabau, melalui gambaran di atas sudah diketahui situasi di tahun baru Masehi tersebur, maka ke depan apabila situasi tersebut dibiarkan akan bisa meruntuhkah sendi-sendi budaya Minangkabau. Sehingga, ke depan seluruh pemuka masyarakat haru menjadikan fenomena tersebut sebagai persoalan yang perlu dicarikan solusinya.
Selama ini ada kesan pemuka masyarakat membiarkan kejadia-kejadian merusak moral tersebut berulang-ulang terjadi di setiap tahun baru Masehi. Kasus yang dianggap fatal ada juga di antara pemuka masyarakat yang ikut-ikutan memperingati, dan memasilitasi terselenggaranya acara di tahun baru masehi tersebut. Misal, tokoh panutan, ninik mamak, wali korong dan kapalo mudo ikut membuat acara hiburan.
Tidak menghitungan hari lagi momen tahun baru itu akan datang, dari gambaran diatas sudah dijelaskan fenomena penyakit masyarakat yang akan terjadi. Saya selaku penulis mencoba untuk mengingatkan, “gamang kajatuah, cameh kaanyui”, kepada pembaca, terutama kepada pihak-pihak yang diberikan amanah oleh masyarakat dan umat untuk mencarikan solusi yang paling tepat untuk mengantisipasi fenomena di atas.
Semua pihak harus memegang peranan, pemerintah selaku penegak hukum positif seperti Sapol PP, Polisi dan TNI melakukan sosialisasi, melaksanakan penertiban dan menegakan aturan secara tegas, misal melakukan razia di tempat-tempat yang berpeluang terjadi penyalah gunaan narkoba, men-swiping hotel-hotel agar tidak terjadi perzinaan, dan menertibkan acara-acara hiburan masyarakat.
Jangan sampai ada acara hiburan masyarakat itu melanggar Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah, maka hiburan harus ada surat izin keramaian, tidak boleh terjadi tauran, acara keramaian tidak boleh lewat dari jam 24.00, tidak ada penampilan artis-artis yang melanggar Undang-undang pornografi dan pornoaksi. Apabila ada yang melanggar aturan tersebut maka penegak hukum wajib bertindak.
Ketegasan dari penegakan hukum positif sangat diperlukan, jangan ada keraguan untuk menegakan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah kepada masyarakat yang melanggar, “jan tibo di mato dipicangkan, tibo diparui dikampihan, tibo didado dibusuangkan”. Artinya siapa pun yang melanggar aturan dan hukum pada malam tahun baru masehi tersebut ditindak tegas termasuk oknum-oknum penegak hukum itu sendiri yang melakukannya.
Di Awal-awal sebelum semuanya terjadi orang tua dan mamak mengumpulkan sanak kemenakan memberikan pituah dan nasehat agar jangan ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi tersebut, serta mereka jangan sampai melakukan kegiatan hura-hura dan pesat yang tidak bermanfaat. Sehingga, dari awal anak kemenakan sudah mendapat peringatkan, apabila dilanggar maka mamak bisa memberikan hukum adat kepada mereka.
Semua elemen masyarakat harus terlibat, alim ulama selaku “suluah bendang dalam nagari” artinya pemberi ceramah dan pengajian kepada ummat, hal tersebut bisa melalui MUI, melalui tuangku dan ulama jamaah memberikan ilmu agama Islam kepada masyarakat, menyampaikan bahwa secara budaya Minangkabau dan agama Islam tahun baru Masehi itu merupakan tahun baru yang tidak perlu diperingati atau dimeriahkan.
Yang paling penting sekali adalah kepala daerah serta para pejabat seperti gubernur, bupati, wali kota dan pimpinan dan anggota DPRD, camat, wali nagari jangan sampai memasilitasi diadakannya malam penyambut tahun baru Masehi tersebut, seperti yang dulu-dulunya pernah diadakan acara menyambut tahun baru Masehi dengan kembang api dan mengadakan hiburan dengan mendatangkan artis dari ibu kota oleh salah satu kepala daerah di Minangkabau, artinya “tungkek jan mambo rabah”.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada Wali Kota Bukittinggi Djufri yang dahulu pernah menutup dan membalut menara jam gadang dengan kain putih di saat tahun baru Masehi masuk, serta melarang mayarakat umum untuk bermalam di sekeliling menara Jam Gadang. Ini mungkin contoh yang sangat baik untuk diteladani.
Besar harapan seluruh elemen masyarakat seperti ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah daerah duduk bersama menyatukan visi mencoba menerapkan budaya Minangkabau secara total. Sehingga, bisa mengantisipasi fenomena seperti yang dijelaskan di atas. Maka sangatlah tepat dilakukan dengan adanya penertiban pada tahun baru Masehi tersebut. Secara nilai budaya Minangkabau tidak ada untungnya dan manfaat bagi masyarakat Minangkabau acara di tahun baru Masehi tersebut.
Jika dibiarkan seperti yang sudah-sudah, tidak menghitung masa, nilai-nilai luhur Minagkabau akan luntur, tidak terbayangkan Minangkabau yang elok dahulunya, ke depan akan menjadi daerah maskiat, daerah tenpat pelacuran, daerah yang anak sekolah hamil di luar nikah, pemuda meninggal karena pesta minuman keras (alkohol), ada warga yang ditangkap karna mengkosumsi narkoba, terjadi tauran antar kampung.
Apabila dibiarkan, suatu saat nanti kita akan menemukan tidak ada lagi nilai-nilai budaya ditengah masyarakat Minangkabau, kecek urang tuo “alah samo gadang se kito, atau sawah indak bapambantang lai” artinya tidak ada lagi tatanan budaya atau agama islam di tengah masyarakat. Kalau kondisi ini terjadi betapa sedih dan prihatinya kita dengan Minangkabau ini.
Mengakhiri tulisan ini diingatkan bawa tahun baru Masehi secara budaya bukan tahun yang perlu diperingati oleh orang minangkabau. Selaku orang minang jangan lah kita ikut-ikutan dengan budaya orang lain, mari ditegakan budaya minangkabau yang sudah tahan uji, budaya minangkabau “yang tidak lakang dek paneh dan tidak lapuak dek hujan”.[]

http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/01/peringatan-tahun-baru-merusak-sendi-minangkabau-521286.html

0 comments:

Posting Komentar