Redaksi 1 – Jumat, 28 Desember 2012 18:55 WIB
Belakangan
ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya
sia-siakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan
mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti.
Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga
saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga.
Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan
agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat
lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit
harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak
pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol
mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca
novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun
malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap
menjadi alasan saya.
Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib
saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau
membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. “Yang penting kenal huruf dan
bisa baca sedikit-sedikit,” kataku waktu itu.
Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini
saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca
Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji
kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramah-ceramah para ustadz dan
ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar
agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan.
Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli
buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi
atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah
habis.
Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena
saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi
bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang
agama saya.
Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat
karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika
mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca
Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan
membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua
tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi
Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah
belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya
hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang
benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi
tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,”Duh
betapa meruginya saya.”
Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu
lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi
daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah,
terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, “Ini apa Li,
koq dikasih tanda?”
“Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal,” katanya sambil tersenyum.
Hapal? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah
ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru
mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan
menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya
keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu
rasanya………
Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari.
Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran
setiap hari meski cuma beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat
dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh
tertinggal…..
Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai
menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah
sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat
memang, kadang rasa malas amat menggoda.
Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu
semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku
sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak
menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anak-anaknya sudah
besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti
pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam
buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat
membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada
apa-apanya dibanding Kak Lili.
Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang
aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari
gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu
suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat
belajarku terpompa kembali, “Saya belum terlambat untuk mulai belajar,”
gumamku dalam hati.
Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal
yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur,
karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa
menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak
kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin
bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan
kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu
memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah
di jalanNya.
(Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)
(Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)
Jakarta
Rubina Qurratu’ain Zalfa’ (pks pariaman selatan)
rubina_zalfa@yahoo.com
rubina_zalfa@yahoo.com
0 comments:
Posting Komentar