Jumat, 11 Januari 2013

Selamat Tinggal Sekolah Mahal

 MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menunjuk­kan ”taringnya”. Lembaga pengawal konstitusi itu memutuskan bahwa rintisan sekolah bertaraf internasio­nal (RSBI) bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, program RSBI harus dihentikan karena tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Vonis MK tersebut bak pukulan telak bagi dunia pendidikan di tanah air. Betapa tidak, RSBI yang sangat dibanggakan itu harus dihentikan.

Program unggulan yang diagung-agungkan tersebut dianggap inkonstitusional dan harus berhenti di tengah jalan. Sejak kali pertama dirilis pada 2005, program RSBI memang mengundang kontroversi. Sorotan utamanya adalah biaya yang dinilai mahal. Ini pun menjadi pro dan kontra. Ada yang bilang mahal, ada yang menyebut tidak terlalu mahal. Masalah angka memang relatif.

Yang pasti, biaya bagi siswa yang masuk RSBI lebih mahal daripada sekolah umum lainnya. Sebuah RSBI di Jakarta, misalnya, mematok uang bulanan per siswa sebesar Rp 1 juta. Itu belum termasuk uang pangkal Rp 12,5 juta yang wajib dibayar ketika siswa masuk. Ada juga sekolah yang menetapkan uang bulanan lebih rendah, yakni Rp 500 ribu. Namun, siswa di sekolah tersebut harus membayar Rp 15 juta untuk uang masuk. Kalau ditotal, seorang siswa harus mengeluarkan puluhan juta untuk menikmati aneka program sekolah RSBI. Wajar jika kemudian muncul anekdot bahwa RSBI adalah rintisan sekolah bertarif internasional.

Spirit pembentukan RSBI sejatinya patut diacungi jempol. Sayang, pelaksanaannya tidak maksimal. Banyak kendala yang membuat program yang bertujuan melahirkan sekolah bertaraf internasional (SBI) tersebut tak membuahkan hasil nyata. Sejak bergulir tujuh tahun lalu, belum ada satu pun di antara 1.305 sekolah RSBI yang berhasil menjadi SBI.

Artinya, yang ada di negeri ini baru sebatas rintisan sekolah bertaraf internasional. Belum ada sekolah yang bertaraf internasional! Ironis. Kondisi ini kontras dengan impian awal ketika program RSBI diluncurkan. Saat itu dirumuskan bahwa sekolah berlabel RSBI untuk jenjang SD hanya butuh waktu tiga tahun untuk menjadi SBI, sedangkan RSBI untuk jenjang SMP ditarget empat tahun. Sementara itu, RSBI jenjang SMA dan SMK butuh waktu lima tahun untuk menjadi SBI. Nyatanya, hingga tujuh tahun berlalu, tidak ada satu pun RSBI di Indonesia yang menjadi SBI.

Banyak faktor yang mendasari kenyataan itu. Salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Ada syarat khusus bagi sekolah RSBI untuk menjadi SBI. Di level SD, 10 persen guru harus bertitel S-2 atau pascasarjana, jenjang SMP 20 persen, dan SMA/SMK 30 persen. Ketidakmampuan sekolah dalam memenuhi syarat itu membuktikan tidak kuatnya semangat para guru untuk meningkatkan kualitas. Padahal, mereka sudah mendapatkan tunjangan profesi. Bukannya digunakan untuk sekolah lagi, tapi malah dipakai buat kegiatan konsumtif. 

0 comments:

Posting Komentar