MAHKAMAH Konstitusi
(MK) kembali menunjukkan ”taringnya”. Lembaga pengawal konstitusi itu
memutuskan bahwa rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, program RSBI harus dihentikan
karena tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Vonis MK tersebut bak
pukulan telak bagi dunia pendidikan di tanah air. Betapa tidak, RSBI
yang sangat dibanggakan itu harus dihentikan.
Program unggulan yang
diagung-agungkan tersebut dianggap inkonstitusional dan harus berhenti
di tengah jalan. Sejak kali pertama dirilis pada 2005, program RSBI
memang mengundang kontroversi. Sorotan utamanya adalah biaya yang
dinilai mahal. Ini pun menjadi pro dan kontra. Ada yang bilang mahal,
ada yang menyebut tidak terlalu mahal. Masalah angka memang relatif.
Yang pasti, biaya bagi siswa
yang masuk RSBI lebih mahal daripada sekolah umum lainnya. Sebuah RSBI
di Jakarta, misalnya, mematok uang bulanan per siswa sebesar Rp 1 juta.
Itu belum termasuk uang pangkal Rp 12,5 juta yang wajib dibayar ketika
siswa masuk. Ada juga sekolah yang menetapkan uang bulanan lebih rendah,
yakni Rp 500 ribu. Namun, siswa di sekolah tersebut harus membayar Rp
15 juta untuk uang masuk. Kalau ditotal, seorang siswa harus
mengeluarkan puluhan juta untuk menikmati aneka program sekolah RSBI.
Wajar jika kemudian muncul anekdot bahwa RSBI adalah rintisan sekolah
bertarif internasional.
Spirit pembentukan RSBI
sejatinya patut diacungi jempol. Sayang, pelaksanaannya tidak maksimal.
Banyak kendala yang membuat program yang bertujuan melahirkan sekolah
bertaraf internasional (SBI) tersebut tak membuahkan hasil nyata. Sejak
bergulir tujuh tahun lalu, belum ada satu pun di antara 1.305 sekolah
RSBI yang berhasil menjadi SBI.
Artinya, yang ada di negeri
ini baru sebatas rintisan sekolah bertaraf internasional. Belum ada
sekolah yang bertaraf internasional! Ironis. Kondisi ini kontras dengan
impian awal ketika program RSBI diluncurkan. Saat itu dirumuskan bahwa
sekolah berlabel RSBI untuk jenjang SD hanya butuh waktu tiga tahun
untuk menjadi SBI, sedangkan RSBI untuk jenjang SMP ditarget empat
tahun. Sementara itu, RSBI jenjang SMA dan SMK butuh waktu lima tahun
untuk menjadi SBI. Nyatanya, hingga tujuh tahun berlalu, tidak ada satu
pun RSBI di Indonesia yang menjadi SBI.
Banyak faktor yang mendasari
kenyataan itu. Salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM).
Ada syarat khusus bagi sekolah RSBI untuk menjadi SBI. Di level SD, 10
persen guru harus bertitel S-2 atau pascasarjana, jenjang SMP 20 persen,
dan SMA/SMK 30 persen. Ketidakmampuan sekolah dalam memenuhi syarat itu
membuktikan tidak kuatnya semangat para guru untuk meningkatkan
kualitas. Padahal, mereka sudah mendapatkan tunjangan profesi. Bukannya
digunakan untuk sekolah lagi, tapi malah dipakai buat kegiatan
konsumtif.
0 comments:
Posting Komentar