Selasa, 22 Januari 2013
Oleh Andi Irawan
Jakarta bagi saya ibarat case yang disediakan Allah untuk menguji entitas anak bangsa ini tentang kualitas peradaban yang kita miliki.
Masalah banjir dan macet adalah masalah rutin Jakarta, bergilir sudah
anak bangsa yang diberi kesempatan untuk memecahkan masalah ini baik
sebagai pengambil kebijakan kunci negara baik sebagai presiden, gubernur
atau kekuatan politik yang diberi kesempatan mengatasi masalah Jakarta,
tapi masalah belum bisa dipecahkan, masalah Jakarta sebagai case
Sang Pencipta belum bisa dipecahkan. Apakah masalah ini terlalu berat
-di luar batas kekuasaan anak bangsa ini- untuk memecahkannya?
Saya sepakat dengan editoriol salah satu media nasional beberapa hari
lalu bukan saatnya bicara tentang cara dan konsep teknis mengatasi
banjir dan macet Jakarta. Karena Ada banyak konsep memecahkan masalah
banjir, ada banyak konsep memecahkan masalah macet. Tetapi masalahnya
adalah kemampuan menjalankan konsep itu yang tidak ada. Political will mungkin tidak ada. Keinginan memberikan kontribusi bagi kehidupan dan kemanusiaan di Jakarta itu tidak ada.
Ibarat sebuah sinetron, sinetron Jakarta adalah sinetron dengan pemain-pemain mulai dari the best staring-nya
sampai pemain figuran semuanya tanpa sadar berlomba menempatkan diri
dalam peran antagonis, yakni peran-peran yang merusak Jakarta sebagai
sebuah peradaban.
Pemain-pemain yang akan mengambil peran dalam sinetron Jakarta adalah bukan figur A atau Z, bukan si fulan atau fulanah.
Ini bukan masalah personal. Secara personal banyak manusia baik dan
ingin berbuat baik untuk Jakarta. Tatapi mereka tidak akan bisa
berkontribusi karena kekuatan utama adalah pelaku yang kita namakan
'partai politik'. Dan parpol-parpol kita secara sadar atau tidak telah
menenggelamkan dirinya dalam mekanisme pendukung aktifitas kehidupannya
dengan cara yang 'anti publik'. Inilah sumber awal yang menyebabkan
parpol menjadi sulit berkontribusi kepada kebaikan publik apalagi
kebaikan itu bernilai kebaikan peradaban seperti Jakarta yang bebas
macet dan banjir.
Parpol itu butuh dana luar biasa besar untuk menjalankan
fungsi-fungsinya. Dana adalah darah bagi parpol untuk menggerakkan
aktivitasnya. Ketika darah itu didapat dari sumber yang 'anti publik'
maka dapat dipastikan perilaku parpol itu akan menjadi anti publik juga.
Aktivitas dan kebijakan yang pro publik dari parpol yang sedemikian
dalam kiprah mereka di lembaga-lembaga negara dapat dipastikan hanyalah
aktivitas pencitraan semata, paling tinggi ia hanya akan bersifat quasi publik
(pro publik yang semu tidak subtansial dan tidak mendasar). Ketika
“darah” itu diperoleh secara anti publik maka dapat dipastikan maka
kinerja dan fungsi-fungsi publik yang dijalankan juga akan ber-aura
bahkan berasa anti publik.
Penggalangan dana dengan cara 'anti publik' dalam bahasa ekonomi politik dinamakan rent seeking.
Penggalangan dana yang sedemikian dilakukan oleh parpol atau elit
parpol dengan jalan memanfaatkan kekuatan politik, posisi atau pengaruh
politik terhadap jabatan-jabatan publik negara baik di eksekutif,
legislatif bahkan yudikatif baik untuk kepentingan pribadi elit maupun
parpolnya.
Anda bayangkan dana triliunan rupiah hancur menjadi bangunan rongsokan
yang siap tumbang karena struktur tanah yang rapuh dan ancaman gempa
dalam kasus pembangunan Mega proyek Hambalang.
Semua solusi untuk Jakarta dari banjir dan macetnya akan membutuhkan
dana besar. Untuk mengatasi banjir saja konon butuh 20 triliun. Semuanya
akan menjadi project yang hanya akan mencerminkan 'ketidakberadaban'
kita (bukan 'peradaban' kita) karena fenomena hambalang akan hadir lagi
dalam beragam perilaku rent seeking dalam proyek atasi macet dan
banjir Jakarta. Dana triliunan yang ada dari memungut pajak anak bangsa
ini oleh para parpol dijadikan ajang perebutan untuk kepentingan pribadi
dan golongan mereka.
Bagi anda yang mengidolakan Jokowi, okelah Jokowi bisa jadi seorang yang
ingin kebaikan untuk Jakarta tetapi apakah Jokowi bisa mengalahkan
kepentingan parpol pendukungnya dan parpol lain tentang perebutan rente ekonomi yang begitu dahsyat di Jakarta? Saya termasuk yang tidak percaya hal itu. []
________________________________________________________
pks pariaman selatan
*Hari Selasa (22/1/2013) ini genap 100 hari pemerintahan Jakarta dibawah
kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
________________________________________________________
pks pariaman selatan
0 comments:
Posting Komentar