“Akhwat fillah rahimakumullah, kita harus pahami bersama bahwa murabbi
bukan biro jodoh”, tutur lembut murabbi dengan sedikit penekanan di
akhir kalimat.
Saya mencoba menelisik sebab kalimat ini muncul. Bahkan hampir beberapa pertemuan halaqah bahasannya masih membahas yang begini-beginian.
Entah, hal ini menjamur sejak masa mana? Kader-kader di kampus seperti
berlomba-lomba mencapai pelaminan. Yang pasti bagi yang memang sudah
terlaksana sebuah jalan yang syar’i dan telah berlalu ijab qabul, “maka
itu yang disebut dengan takdir”, ujar murabbiku lagi.
Nah tapi, fenomena yang kemudian muncul dewasa ini adalah banyak
kader-kader “muda” yang justru terperdaya dengan “nasib” saudaranya.
Dirinya seperti tak rela jika ada saudara atau saudarinya yang
melangsungkan pernikahan. Dia berpikir, “padahal umur si fulan dan
fulanah notabene jauh di bawah dirinya”. Sehingga, muncul sosok-sosok
kader “keder”. Sehingga, tidak sedikit muncul golongan kader galau
karena “cinta”. Dulu lebih populer dengan istilah Virus Merah Jambu
(VMJ). Di mana mulai dari warna rambut, warna hati, warna langit, warna
mushaf, warna buku dalam pandangan kader semua berubah jadi pink.
Melankolis. Itu ilusi. Itu khayal. Itu maya. Itu tipuan. Itu bisikan
syaitan.
Sehingga, banyak bermunculan kader muntaber (mundur tanpa berita) karena proposal yang diajukan ke murabbi tak dapat di ACC. Sehingga, banyak kader keblinger dengan
diam-diam menjalin hubungan tanpa status (HTS). Sehingga,
lingkaran-lingkaran halaqah bolong-bolong karena kader akhwat berkelana
mencari pangeran berkuda putih. Karena, banyak kader ikhwan yang “izin”
dengan alasan berjuang mencarikan belahan sepatu kaca milik Cinderella.
Haaah, apa kata dunia? Hmmm, apa kata syaitan yang bergembira ria
menyaksikan kebodohan umat manusia yang “sok, pahlawan” menerima
penawaran dari Allah sebagai khalifah di muka bumi. Lalu, bagaimana
dengan sorak sorai kaum Yahudi laknatullah yang takut dengan amalan
yaumi kita. Tapi sekarang mereka menyadari bahwa umat Islam sudah kalah!
Umat Islam perlahan tapi pasti mulai tergerus dengan pengaruh media
yang menggejala.
Karena, sadarkah kita? Istilah galau! Ada sejak dulu, kosa kata itu
bertapa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sejak lama. Tapi kemudian
ketika ia dikenalkan kepada khalayak oleh media. Maka, kata “galau”
menjadi naik daun. Menjadi konsumsi harian setiap insan. Mereka kenyang
dengan mengagung-agungkan kata “galau” tanpa tahu persis makna kata itu
sendiri. Apa manfaat dari memaknai setiap sedikit saja keresahan yang
muncul dalam diri dengan kata “galau”? Biar gaya? Biar kelihatan gaul?
Biar tak tampak sebagai mahasiswa yang cupu, culun lagi kuper?
Dalam ilmu komunikasi, proses yang demikian disebut dengan teori
kultivasi. Di mana media berusaha “mencekoki” khalayak secara terus
menerus hingga tanpa sadar ia menerima sesuatu yang sesungguhnya
bertentangan dengan dirinya.
Jika bisa dianalogikan seperti sebuah kutipan dalam film Sang Murabbi.
Syaikhut Tarbiyah Rahmat Abdullah pernah mengungkapkan kurang lebih
seperti ini redaksi katanya “Umat ini layaknya monyet yang berada pada
sebuah pohon. Ketika berusaha menaiki pohon ia begitu bersemangat untuk
mencapai puncak dengan terpaan angin yang besar sekalipun. Namun ketika
mencapai puncak, terpaan angin mulai pelan dan pelan. Monyet pun mulai
merasa nyaman dan terlena dengan angin pelan tersebut. Sampai akhirnya
ia terjatuh dan menyia-nyiakan usahanya yang begitu besar tadi”.
Begitulah, karakteristik umat ini. Kita seringkali terlena dengan
kemudahan. Kita kerap kali terhipnotis dengan kenyamanan. Kita bahkan
lupa bahwa itu merupakan upaya menghancurkan kekokohan benteng kita.
Masya Allah, kita tengah masuk terlampau jauh dalam perangkap Yahudi.
Media yang mereka buat “istimewa” untuk kita. Media yang dirancang
menjadi “perangkap” yang mampu meredupkan cahaya iman kita. Media yang
di satu sisi mampu juga membangkitkan gerakan kita. Tapi kita belum mau
mengambil kesempatan itu. Kita masih saja nyaman dengan menjadi
“juragan” yang bisanya cuma make. Padahal jika kita runut, umat kita memiliki potensi yang luar biasa!
Maka, terpaan badai ujian dan problematika umat tidak saja berasal dari
eksternal saja. Tapi kemudian yang paling dikhawatirkan adalah guncangan
kerusakan dari dalam, dari internal. Seperti yang pernah Rasulullah saw
alami saat perang khandaq.
Maaf jadi membahas terkait media. Karena menurut saya, hal ini kemudian
menjadi salah satu faktor yang menyebarkan virus terganas kepada umat.
Walaupun bisa menjadi sebaliknya, ketika kita tahu ilmu dan cara efektif
menggunakannya. Kita kembali ke…
***
“Anti lagi proses ya ukh”, canda salah seorang akhwat kepada sahabatnya. Ini murni bercanda.
Berawal dari candaan pendek tersebut seringkali obrolan dua atau beberapa akhwat maupun ikhwan menjadi melebar ngalor-ngidul. Nggak jelas juntrungannya.
Menurut salah seorang akhwat, aku bisa dibilang akhwat yang “aneh”.
Karena jarang terlibat pembicaraan seperti gambaran di atas. Saat ada
yang menggodaiku dengan celotehan “ukh, anti lagi proses ya”. Saya jawab
dengan candaan, “iya, proses pertumbuhan”.
Bagi saya pribadi, tidak ada salahnya membahas masalah tersebut. Hanya saja ketika semakin lama bahasannya semakin ngaco bahkan
melalaikan maka lebih baik ditinggalkan. Selain itu, saya merupakan
orang yang orientatif target, orientatif prestatif. Banyak hal-hal yang
saya alami dan dapatkan karena sinergitas antara target pribadi dengan
keputusan Allah.
Maka yang saya pahami dari hal tersebut di atas juga berbicara masalah
target. Bahwa “rizki, usia dan jodoh merupakan sesuatu yang misteri”,
begitu ungkap murabbi.
Beliau juga memaparkan bahwa tidak sedikit kader yang “autis”. Mengikuti
tarbiyah dengan tujuan mendapatkan yang tarbiyah lagi. Bahkan suatu
kali ada yang terang-terangan keluar dari tarbiyah hanya gara-gara
masalah ini. Pragmatis!
Saya memilih untuk slow motion but sure karena
sesuatu akan datang indah pada waktunya. Saya juga sangat suka dengan
ungkapan “bahwa Allah tidak akan pernah mempercepat atau memperlambat
suatu keputusan. Semua telah diatur dengan sebaik-baiknya. Tinggal
bagaimana kita melakukan yang terbaik untuk mendapatkan yang sebaik-baik
yang telah Allah siapkan”.
Sayang, kalau masa produktif kita terperkosa oleh rasa “galau”. Lebar,
kalau masa-masa prestatif kita dihantui dan dibayang-bayangi “galau”
yang menyeramkan. Karena pada dasarnya hidup adalah pilihan.
Pilihan-pilihan yang kemudian berada dihadapkan kepada kita adalah
pilihan yang menggiurkan. Tapi jangan salah, bisa jadi Anda mendapatkan
zong! Bila tidak cermat dalam memilih. Memilih membutuhkan pertimbangan
agar hasil maksimal, tapi jangan karena waktu pertimbangan yang tidak
efektif hingga kita sadar waktu memilih telah habis!
***
Daripada “galau” lebih baik kita bahas terkait hal-hal yang mampu menjadi solusi permasalahan ini (mengingatkan diri sendiri). Pertama,
mari yakini bersama bahwa Allah akan membalas setiap perbuatan sesuai
dengan yang dilakukan hambaNya. Yuk, kita perbaiki diri untuk mendapat
balasan yang terbaik pula dari-Nya.
“Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik pula. Mereka itu bersih dari apa yang
dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia dari
(surga)”. (An-Nur: 26)
Apa yang kita lakukan saat ini merupakan upaya mendapatkan tujuan kita.
Kedua,
jika “galau” melanda maka, beristighfar dan coba berjalan lalu berlari
sekencang-kencangnya menghampiri Sang Penyembuh “galau”.
“(Yaitu) orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram” (Ar-Rad: 28)
Mencoba beradu padanya. Tak perlu kita pedulikan apa yang ada di luar
diri kita. Karena pada dasarnya kita memiliki potensi untuk bertahan dan
“membantah”. Kuncinya, mau!
Ketiga,
selalu terngiang materi pada Stadium General Musyawarah Daerah (Musda
FSLDK Bandung Raya). Pemateri said: “ada tiga hal yang mampu
membangkitkan peradaban Islam secara keilmuan”. Membaca, menulis dan
berkarya (beramal). Baca merupakan kunci utama kebangkitan umat.
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha mulia.
Yang Mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya”. (Al-‘Alaq: 1-5)
Sungguh dahsyat efek membaca! Bahkan itu anjuran Allah dari wahyu
pertama yang diturunkan. Dengan membaca mampu membuka cakrawala dunia.
Dengan membaca menyibak rahasia-rahasia yang tak terungkap. Dengan
membaca kita tahu apa itu “galau”, apa gunanya dan cara mengatasinya?
Menulis, terinspirasi perkataan Ali Bin Abi Thalib “Ikatlah ilmu dengan
menulis”. Menulis dan berkarya sungguh menjadi solusi mengisi
waktu-waktu kita yang seringkali lengang. Dengan menulis kita mampu
menambah khazanah pengetahuan untuk peradaban. Namun yang harus dipahami
bersama bahwa membaca dan menulis ibarat keping mata uang yang tak
terpisahkan. Antara satu sisi dengan sisi yang lain tak dapat berjalan
sendiri. Ia adalah satu kesatuan.
Menulis tanpa membaca sama dengan buta.
Membaca tanpa menulis sama dengan pincang.
Maka keduanya harus bersinergi agar mendapatkan karya yang maksimal.
Jadi membahas panjang lebar. Yang pasti saling mengingatkan dan semangat
berkarya! Untuk peradaban dengan menolak virus “galau” dan ingat,
murabbi bukan biro jodoh!
Wallahua’alam bish shawab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/26045/murabbi-bukan-biro-jodoh/#ixzz2GcXq85vc
0 comments:
Posting Komentar